PAJAK: PAJAK DALAM PERSPEKTIF DR. ANSHARI RITONGA, SE., SH., MH.


PAJAK DALAM PERSPEKTIF 
DR. A.NSHARI RITONGA, SE., SH., MH.
(KULIAH UMUM D1 PAJAK PKN STAN)





Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. Menurut Prof. Adriani, “Pajak adalah iuran wajib kepada negara yang dapat dipaksakan menurut undang-undang dengan tidak mendapat imbalan secara langsung, dan dipergunakan untuk keperluan negara” , yang dimaksud negara disini adalah organisasi kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Sebagai iuran wajib, pajak harus dibayar setiap orang yang memenuhi kriteria sesuai amanat undang-undang, dalam hal kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh pihak yang bersangkutan, maka negara sebagai organisasi tertinggi dapat mengenakan sanksi dan/atau denda, atau dapat pula mengenakan pidana penjara kepada para anggotanya (masyarakat). Berbeda dengan organisasi pada umumnya yang dapat mengenakan sanksi pemberhentian/mengeluarkan anggotanya apabila tidak membayar iuran di organisasinya, negara sebagai organisasi tidak dapat melakukan hal tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip negara, yaitu mengayomi dan melindungi anggotanya (masyarakat).
Negara dalam memungut pajak harus berdasarkan peraturan perundang-udangan yang berlaku, karena Indonesia menganut paham negara hukum dan pemungutannya harus dengan persetujuan rakyat yang diwakilkan oleh wakil raykat (DPR). Dasar pemungutan pajak di Indonesia adalah pasal 23A UUD 1945 yaitu, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, diatur dengan undang-undang.” Dalam pasal tersebut diamanatkan untuk membuat undang-undang sebagai peraturan lebih lanjut dari pasal tersebut. Oleh karenannya dibuatlah beberapa undang-undang perpajakan yang terdiri dari undang-undang pajak materil dan undang-undang pajak formil.Undang-undang pajak materil terdiri dari 7 buah undang-undang yang dibagi kembali dalam 2 pokok yaitu, pungutan negara berupa pajak terdiri dari 3 undang-undang yaitu undang-undang PPh, PPN & PPnBM dan PBB, sealnjutnya pungutan negara berupa bea dan cukai yang terdiri dari 4 undang-undang yaitu undang-undang Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Kepabeanan dan Cukai.
Seseorang dapat dikenakan pajak apabila memenuhi unsur subjek hukum pajak dan objek hukum pajak. Subjek hukum pajak adalah unsur yang harus dipenuhi berkenaan dengan siapa saja yang dapat dikenakan pajak, subjek hukum pajak  ada 3 yaitu orang pribadi, badan, dan BUT, sedangkan objek hukum pajak adalah hubungan atau peristiwa hukum (perbuatan, tindakan, kejadian/keadaan) yang terukur, bernilai, bersifat perdata dan ditetapkan sebagai obyek pajak. Objek pajak sendiri terdiri dari 2 yaitu, obyek pungutan negara berupa pajak yang dasar pengenaan pajaknya berdasarkan pertambahan nilai atau kemampuan ekonomi, selanjutnya objek pungutan berupa bea/cukai yang dasar pengenaan pajaknya berdasarkan kegiatan yang memerlukan pengaturan khusus, fasilitas dan/atau perlindungan dari pemerintah (obyek bea) serta yang berdampak memerlukan penanganan dampak sosial (kesehatan, ketertiban), dan lingkungan (obyek cukai). Objek pajak dapat dibedakan menjadi 3 komponen utama yaitu, penghasilan, pendapatan dan perolehan. Perbedaan yang mencolok dari ketiga komponen itu adalah penghasilan merupakan pemasukan yang telah direncanakan sebelumnya, pendapatan merupakan pemasukan yang tidak direncanakan dan perolehan merupakan pemasukan yang diperoleh akibat dari pencapaian sesuatu ( contoh : hadiah sebagai juara).
Hukum pajak juga berkaitan dengan beberapa komponen hukum lainnya seperti hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Hubungan hukum pajak dengan hukum administrasi adalah hukum pajak mengatur kewenangan pemerintah memungut pajak sebagai hak dan kewajiban kenegaraan bagi rakyat, hubungan hak dan kewajiban (administrasi) yang timbul akibat dari pembayaran pajak oleh Wajib Pajak ke negara merupakan salah satu ranah hukum administrasi negara. Hubungan hukum pajak dengan hukum perdata adalah obyek hukum pajak merupakan peristiwa-peristiwa perdata, maka dalam penerapannya berlaku prinsip hukum perdata berupa mediasi dan kompromi dalam pemungutan pajak. Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana adalah hukum pajak menyangkut hubungan kewajiban warga negara (wajib pajak) dengan negara, dan atas pelanggaran administrasi yang menimbulkan kerugian negara dikenakan sanksi pidana, namun dalam penerapan sanksi pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum pajak (ultimum remedium), karena tujuan dari pemungutan pajak adalah untuk menghimpun penerimaaan negara bukan untuk memenjarakan seseorang, oleh karenanya dibuatlah mekanisme pengampunan pidana pajak dengan penggantinya berupa denda 150%, 200%, dan 400% menurut UU No. 16 Tahun 2009. Selain pengampunan pidana, Wajib Pajak juga dapat memperoleh pengampunan denda menurut UU No. 36 Tahun 2008. Dilain sisi pengampunan dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak perlu untuk dilakukan karena dapat menimbulkan ketidakadilan kepada Wajib Pajak yang taat dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Indonesia menerapkan self assessment system sesuai dengan pasal 12 ayat 1 UU No 16 Tahun 2009 tentang Kententuan Umum Perpajakan, sehingga Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung dan memperhitungkan jumlah pajak terutangnya dan membayarkannya serta melaporkan pemenuhan kewajiban pajak dengan memasukkan SPT. Meskipun telah menerapkan self assessment system, peran fiskus tetap diperlukan dalam hal melakukan penyuluhan dan pembinaan atas peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan dan fasilitas dalam pemenuhan perpajakan, serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan self assessment system oleh Wajib Pajak dengan memeriksa SPT Wajib Pajak. Terkadang dalam perhitungan Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan fiskus terdapat perbedaan yang mengakibatkan terjadinya sengketa, tahapan penyelesaian sengketa pajak pertama kali adalah dengan menerbitkan SKP yang penyelesaiannya melalui kuasi peradilan (Peradilan Doleansi tingkat I). Sidang doleansi tingkat I dilakukan melalui pemeriksaan, dengan pembahasan akhir (closing conference) yang menghasilkan keputusan berupa SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT sebagai putusan Peradilan Doleansi tingkat I, jika Wajib Pajak masih belum setuju maka akan dilanjutkan melalui mekanisme keberatan. Tahapan kedua adalah pemeriksaan keberatan Wajib Pajak melalui Peradilan Doleansi tingkat II, dalam tahapan ini Wajib Pajak diberi kesempatan memberi tanggapan atas hasil laporan pemeriksaan keberatan, serta jika tetap tidak setuju maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Tahapan terakhir adalah Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak, putusan persidangan disini bersifat final bagi Wajib Pajak dan fiskus, meskipun selanjutnya Wajib Pajak dapat mengajukan PK ke Mahkamah Agung jika masih belum setuju dengan putusan pengadilan pajak.
Sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada Wajib Pajak apabila terjadi pelanggaran seperti penggelapan, namun hal ini merupakan upaya terakhir. Tujuan pemberian sanksi pidana adalah untuk menumbuhkan kepatuhan Wajib Pajak, agar hal yang sama tidak terulang kembali (detterent effect) dan memberikan keadilan kepada Wajib Pajak patuh. Berdasarkan hukum pajak, mediasi perdata diutamakan untuk mengganti pidana dengan pemberian sanksi denda, oleh karenanya pengenaan sanksi pidana atas pelanggaran hukum pajak dapat diganti dengan sanksi denda, hal ini berbeda dengan pengenaan sanksi pidana atas pelanggaran hukum pidana yang tidak dapat diganti dengan membayar denda.
Hukum pajak memiliki beberapa kekhususan dibanding dengan hukum lain. Kekhususan tersebut antara lain adalah hukum pajak berkaitan dengan beberapa hukum lainnya seperti hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana; dalam hukum pajak diperkenankan mengganti sanksi pidana dengan denda administrasi; hukum pajak tidak sepenuhnya menggunakan azas praduga tak bersalah (presumption of innocence) melainkan asas yang paling ditekankan pemberlakuannya adalah praesumptio ius tea causa (azas praduga putusan pemerintah benar); suatu pelanggaran hukum pajak dapat dikenakan sanksi 2 kali tanpa kendala (nebis in idem); terakhir hukum pajak dapat menjadikan sesuatu yang ilegal menjadi suatu bukti yang sah (contohnya : dalam suatu pemeriksaan pajak, sumber dari objek pajak itu tidak dipermasalahkan sehingga meskipun itu merupakan hasil korupsi atau tindak kejahatan, hal tersebut tetap dapat menjadi dasar pengenaan pajak).

Post a Comment

0 Comments